Majelis Reboan : Harmoni Agama, Seni, Budaya


Oleh: Ace Somantri*

Menarik dan unik, itu kata yang pantas dalam kegiatan yang diselenggarakan di salah satu pojok kota Purwakarta. Terlihat artistik dan alami penuh suasana perpaduan klasik dan modern minimalis. Masuk ke jalan sempit yang hanya cukup satu kendaraan roda empat, setibanya di lokasi ada api obor kecil yang  menyala di atas bambu ikut menerangi area parkir semua jenis kendaraan.

Namun, saat masuk area acara terlihat halaman  rumah tertata rapi dan terbuka ruang hijau yang eksotik, ditambah area tersebut sebuah pendopo minimalis namun cukup untuk menetaskan sebuah karsa, cipta dan karya. Situasi hal demikian menandakan sebuah cerminan  dari sikap dan perilaku sosok pemiliknya peduli alam dan lingkungan.

Dapat dicatat bahwa eksistensi manusia diakui keberadaanya ada pada ide dan gagasan setiap individu, baik itu datang seketika muncul maupun ada proses yang dilewati melalui pemikiran yang panjang. Manusia hidup dengan jiwa dan raganya tersusun rangkaian seluruh anggota tubuh dengan sempurna, bersatu terpadu dalam tubuh yang kuat.

Cara menjaga dan memelihara tubuh dalam hidup dan kehidupan setiap manusia melainkan dengan mengelola rasa dan pikiran menjadi karya nyata yang penuh manfaat berguna bagi siapapun yang makhluk yang ada di dunia.

Demi merawat nalar akal yang sehat, penting dipahami bahwa kita harus bersama satu visi dan misi hidup menuju hidup “waluya” yang dipenuhi kerahayuan. Tetap semangat berupaya keras membuka ruang dialog kebaikan melalui berbagai majlis ilmu.

Menarik disikapi dan dikembangkan, model majlis ilmu yang digagas oleh Kang Pur seorang birokrat daerah sosok yang memiliki pengalaman panjang di dunia pendidikan, memiliki kegiatan rutin pengajian yaitu “majelis reboan”  dengan pola dan model pengajian yang cukup unik dan jarang dilakukan oleh umat muslim di daerah Jawa Barat  pada umumnya.

Majelis reboan, dengan suasana khas perpaduan nilai-nilai agama, budaya dan seni menjadi satu kesatuan membuat kemasan pengajian lebih harmoni. Doktrin-doktrin agama tidak berhenti dalam paksaan yang wajib diterima tanpa keikhlasan jiwa.

Agama dilahirkan untuk memberi cahaya dan warna hidup yang harmoni, pun begitu budaya dan seni sebuah karsa, rasa dan cipta muncul dari ide dan gagasan seorang manusia yang harus menyatu penuh adab dan wibawa, juga tidak kontra dengan ajaran Agama apapun, apalagi Islam sehingga harmonisasi terjadi. Hal demikian bagian dari pesan moral ajaran Islam yang terdapat dalam nash al Qur’an diistilahkan rahmatan lil alamin.

Teringat dalam suasana desa dan perkampungan, mendengarkan alunan seni musik khas sunda diiringi “kawih” dengan lirik yang memiliki pesan dan makna kebaikan menjadi pengantar suasana majelis reboan yang unik dikemas seolah ada dalam suasana cafetaria dengan menu makanan khas hasil rajakaya pertanian seperti rebusan kacang tanah, ubi jalar, jagung, ketimus singkong dan yang lainnya serta dibarengi teh panas dalam gelas cangkir kaleng khas tempo dulu melengkapi kenikmatan. Begitu faktanya, karakteristik pengajian majelis reboan yang terlihat dan terasa nuansa perpaduan transformasi nilai agama Islam, budaya dan seni menyatu memberi inspirasi.

Memang tidak lazim dalam tradisi pengajian masyarakat muslim pada umumnya, iringan suara musik dengan alat musik tradisional sangat kental nuansa kesundaannya, begitupun pengisi acara bervariasi penuh warna, mulai pengisi acara pokok dua orang narasumber tausiyah spiritual, tiga jamaah tampil membawakan puisi Islami dan dentingan dari petikan kecapi serta gesekan biola penuh harmoni yang masuk dalam rambatan gelombang bunyi dapat dinikmati sambil menikmati rebusan rajakaya bumi. Ada pesan moral mendalam dalam majelis reboan, yaitu kehadiran agama Islam harus memberi harmoni dalam kehidupan.

Harmoni kehidupan merupakan bagian dari makna rahmatan lil alamin, perpaduan beberapa alat musik dengan suara teratur bersahutan dengan suara kawih khas sundaan menyanyikan lirik-lirik  penuh pesan moral  mengiringi sorotan cahaya lampu obor botol di atas bambu yang memancar remang-remang dengan sedikit asap tipis mengepul ke atas hingga ditelan malam.

Setting area jamaah dengan duduk lesehan serasa pengajian di “langgar-langgar” dengan ornamen saung pendopo terbuka dan berkarakter. Jamaah berdatangan, dari warga sekitar maupun dari luar Purwakarta mendengarkan dengan khusyu’ petuah dari narasumber utama maupun diselingi inspirasi dari para pembawa puisi Islami, tak terasa waktu bergeser hingga tepat jam 21.20 wib acara majelis reboan usai berjalan lancar dan khidmat. 

Kang Pur sebagai penggagas majelis reboan tidak lama berkeliling menyapa jamaah sambil bersalaman, ramah sambil senyum kecil satu persatu disalami sesekali bertanya kabar kepada jamaah yang datang. Tepat saat ketemu, langsung cipika-cipiki menyambut dengan hangat sambil mengucapkan terima kasih karena telah datang acara majelis reboan, tanpa basa-basi dia bilang wah ini kyai dari Muhammadiyah dari Bandung jauh-jauh datang, kemudian seorang sahabatku bicara menimpali bagaimana kalau bulan depan dijadwalkan? Kang Pur tanpa pikir panjang langsung jawab ” ya betul, sambil melirik mencari seseorang “pak Asep mana?  tolong ini (pak Ace) untuk jadwal bulan depan diisi oleh dia dari Muhammadiyah, tadi barusan yang mengisi dari NU dan bulan depan dari Muhammadiyah sambil ketawa bahagia.

Sekelumit cerita di area majelis reboan, alhamdulillah ikut bersyukur dan apresiasi yang sangat tinggi kepada kang Pur yang memiliki jiwa dan karakter ketokohan terlihat hangat dan familiar terhadap sesama.

Begitupun sebagai seorang muslim, suasana budaya “duduluran” yang dikenal dalam sistem kekerabatan di Jawa Barat menanamkan dan menunjukan cinta kasih sayang atau welas asih kepada sesama tanpa melihat sekat batas kelas seorang manusia. Bahkan, dengan mahluk alam lain pun dituntut untuk saling asah, asih dan asuh.

Majelis reboan sarana komunikasi antar sesama, dikemas dengan pengajian yang sarat makna akan agama, budaya dan seni. Menghantarkan sikap saling asah, asih dan asuh sebagai nilai perpaduan yang saling mengikat jiwa dan raga pada setiap insan yang berkeyakinan bahwa antara agama, seni dan budaya tak dapat dipisahkan dalam kehidupan nyata.

Tidak heran, manusia saat ini selama era modern atau kemajuan teknologi ada kesan cenderung individualistik, anarkistik dan antagonistik. Ternyata, ada satu hal mendasar telah rusak dan dirusak oleh manusia itu sendiri yaitu dasar rasa dan karsa manusia tidak dijadikan “tetekon ” dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Semoga dalam majelis reboan ini, ada proses transformasi dan internalisasi nilai agama, seni dan budaya dalam menjalankan tatanan kehidupan sehari-hari sekaligus menjadi vibrasi perubahan hidup lebih memiliki rasa penuh welas asih.

Sering diungkapkan berulang-ulang oleh Kang Dedi Mulyadi Bapak Aing, segala apapun untuk menegakkan kebijakan dalam ranah kepentingan publik harus menggunakan” rasa” maka akan lahir kebijakan yang berpihak kepada keadilan sosial, peduli pada sesama sehingga mengurangi sikap egois dan individualis. Majelis reboan sarana membangun ikatan emosional berupaya menjaga dan memelihara “rasa” sekaligus mengasah rasa agar tetap pada jalur tetekon agama, seni dan budaya agar mendapat Ridho Gusti Allah Ta’ala Yang Maha Suci. Amin.

*Wakil Ketua PWM Jabar

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top