PKBM Rumah Tumbuh berkesempatan melakukan studi tiru ke Sanggar Anak Alam (SALAM) Yogyakarta. Perjalanan ini bagi kami bukan sekadar kunjungan, melainkan pencarian jawaban tentang bagaimana menghadirkan pendidikan yang utuh, relevan dengan kehidupan, serta membentuk anak-anak yang berani hadir di masyarakat.
—
1. Manajemen Sekolah: Hidup dari Partisipasi, Bukan Sekadar Aturan
Setibanya di SALAM, kami langsung merasakan suasana berbeda. Tidak ada gerbang besar atau papan peraturan yang kaku. Yang ada justru ruang-ruang belajar sederhana, terbuka, dengan suasana cair.
Manajemen di SALAM tidak hanya berbicara soal administrasi, tetapi tentang bagaimana sekolah dikelola bersama komunitas. Orang tua ikut terlibat dalam pengambilan keputusan, fasilitator punya ruang untuk menyuarakan ide, dan anak-anak dilibatkan dalam merancang kegiatan.
Kami jadi sadar, di PKBM Rumah Tumbuh pun manajemen tidak boleh hanya berhenti pada laporan dan rapat rutin. Manajemen seharusnya menciptakan ekosistem partisipatif di mana semua warga belajar merasa memiliki, merasa penting, dan merasa menjadi bagian dari sekolah.

—
2. Manajemen Fasilitator: Dari “Guru” ke Sahabat Belajar
Di sekolah formal, guru sering dianggap sebagai pusat ilmu. Tapi di SALAM, fasilitator hadir sebagai pendamping perjalanan anak.
Kami mendengar langsung cerita bagaimana fasilitator mendampingi anak riset tentang hal-hal sederhana: membuat roti, memasak, bahkan membuat proyek seni. Peran mereka bukan memberi jawaban, tapi menanyakan: “Apa yang kamu temukan? Bagaimana kalau dicoba lagi?”
Kami merasa ini adalah pelajaran penting, fasilitator harus punya kerendahan hati untuk tidak selalu jadi sumber pengetahuan. Justru tugas mereka adalah membangkitkan rasa ingin tahu.
Bagi kami, PKBM Rumah Tumbuh, ini menjadi refleksi. Kami perlu terus melatih fasilitator agar terbiasa menemani proses, bukan mengejar hasil.

—
3. Trisentra Pendidikan: Sekolah, Orang Tua, dan Lingkungan Berjalan Seiring
Di SALAM, kami melihat konsep trisentra pendidikan ala Ki Hajar Dewantara sungguh hidup.
Sekolah menjadi ruang eksplorasi, bukan ruang menghafal.
Orang tua bukan sekadar pengantar, tapi ikut turun tangan. Ada yang menemani kegiatan masak, ada yang berbagi pengalaman kerja, ada yang mendukung logistik kegiatan anak.
Lingkungan dijadikan laboratorium. Sawah, kebun, pasar tradisional, bahkan sungai, semua menjadi bagian dari ruang belajar.
Kami pulang dengan kesadaran bahwa di PKBM Rumah Tumbuh, kami juga perlu membangun sinergi ini. Tidak bisa hanya sekolah yang bekerja. Orang tua harus diajak menjadi mitra, dan lingkungan sekitar harus dijadikan sumber belajar nyata.

—
4. Anak Menggali Potensi, Bukan Dibelenggu Kurikulum
Salah satu yang paling mengejutkan kami adalah SALAM tidak terikat kurikulum nasional. Tidak ada mata pelajaran yang kaku, tidak ada seragam, tidak ada ranking.
Yang ada adalah riset berbasis minat anak. Anak boleh memilih apa yang ingin mereka dalami, lalu fasilitator mendampingi prosesnya. Hasil belajar dituangkan dalam laporan reflektif, bukan rapor angka.
Kami melihat anak-anak begitu antusias. Mereka belajar bukan karena diperintah, tapi karena ingin tahu.
Di Rumah Tumbuh, ini menjadi tantangan sekaligus inspirasi. Bagaimana memberi ruang lebih besar agar anak-anak juga bisa menemukan jalannya sendiri. Bukan sekadar mengikuti instruksi, tapi benar-benar menemukan dirinya.
—
5. Anak Disiapkan untuk Hadir di Masyarakat
Di SALAM, tujuan pendidikan bukan sekadar “anak lulus ujian”. Tujuan mereka adalah anak siap hadir di masyarakat.
Kami melihat anak-anak terlibat dalam kegiatan nyata, membuat proyek lingkungan, mengelola hasil pertanian, berdiskusi soal isu sosial, bahkan ikut terlibat dalam kerja-kerja komunitas.
Pendidikan tidak boleh berhenti di ruang kelas. Anak-anak harus dibekali dengan empati, kemandirian, dan keberanian untuk berbuat di lingkungannya.
—
6. Refleksi untuk Rumah Tumbuh
Kunjungan ini meninggalkan banyak catatan. Kami ingin mengubah cara pandang manajemen sekolah, dari sekadar birokrasi menjadi partisipatif.
Kami juga ingin memperkuat peran fasilitator, bukan hanya sebagai pengajar tunggal, tapi sahabat belajar bagi siswa.
Selain itu, Kami juga ingin menghidupkan kembali trisentra pendidikan, orang tua dan lingkungan harus berjalan bersama kami sebagai lembaga pendidikan.
Kami ingin memberi ruang lebih luas agar anak-anak bisa menggali potensi diri tanpa harus dibatasi kurikulum nasional. Kami ingin menyiapkan anak-anak bukan hanya pintar, tapi siap hadir di tengah masyarakat.
Kami tidak ingin sekadar menyalin SALAM, tapi kami ingin membawa pulang semangatnya. Pendidikan sebagai proses memerdekakan, bukan mengekang. Pendidikan sebagai perjalanan tumbuh, bukan sekadar angka rapor.

—
Akhirnya kami sadar, pendidikan terbaik adalah ketika anak bisa menjadi dirinya sendiri, orang tua bisa menjadi teman perjalanan, fasilitator bisa menjadi pendamping, dan lingkungan menjadi ruang belajar yang tak pernah habis.
Itulah oleh-oleh berharga yang kami bawa dari Yogyakarta, untuk terus kami hidupkan di PKBM Rumah Tumbuh.