Di zaman ketika cahaya layar lebih sering menyinari wajah anak² kita drpd cahaya matahari pagi, saya mulai bertanya pd diri sendiri: masihkah rumah menjadi tempat pulang yg utuh, tempat anak merasa aman, dicintai, dan tumbuh scr utuh sbg manusia?
Sbg seseorang yg lahir dari keluarga religius, meski gak alim² amat, saya percaya bhw iman dan akhlak gak ditanam lewat ceramah panjang, tapi melalui kebiasaan sehari²: obrolan hangat, pelukan di waktu sedih, dan tawa yg tumbuh dari permainan sederhana di ruang keluarga. Tapi, perlahan, saya melihat semua itu mulai pudar.
Sebelum jaman ponsel pintar, bahkan suara televisi sdh menenggelamkan suara saya. Sinetron yg isinya marah², curiga, dan prasangka mencuri perhatian ruang keluarga Indonesia, termasuk ruang keluarga kami. Dan saya tahu: kalau gak segera bertindak, rumah bisa berubah menjadi hotel, tempat tinggal tanpa interaksi, tanpa ruh.
Maka, saya & istri memutuskan sesuatu yg tidak populer: mematikan televisi selama tiga tahun, tepat di masa tumbuh kembang anak² kami. Ya, kami ingin suara yg paling sering mereka dengar adalah suara kami, abah dan ambunya, dan bukan tokoh² sinetron picisan atau presenter berita² korupsi dan pembunuhan. Kami ingin rumah kami menjadi madrasah pertama, tempat nilai ditanam, dan bukan informasi negatif ditumpahkan.
Saat mereka lulus SMP dan memasuki SMA, kami beri mrk ponsel, tp hanya dg WhatsApp dan aplikasi belajar. Gak ada game. Gak ada media sosial. Bukan karena kami antiteknologi, tp krn kami ingin mereka belajar menggunakan teknologi sbg alat, bukan sbg candu. Kini, anak² kami kuliah di UNY dan UGM, Yogyakarta. Di HP dan laptop mereka, gak ada jejak game. Media sosial pun dipakai dg sadar dan terbatas. Saya tak pernah melarang, hanya membiasakan. Dan mungkin krn mereka tidak dibesarkan dlm dunia yg brisik dg suara digital, mrk lebih tenang dlm memilih diam.
Saya pun hidup dg prinsip yang sama. Di HP dan laptop saya sendiri, gak ada game. Media sosial? Saya gunakan hanya seperlunya saja, di komputer rumah. Bukan krn ingin terlihat saleh, tapi krn saya tahu: keheningan adalah ruang terbaik utk mendengar bisikan hati, dan keluarga adalah tempat terbaik utk belajar mencintai scr nyata.
Hari ini, saya memposting ini bukan utk menggurui. Tp utk mengajak kita merenung bersama. Mungkin, dunia gak bisa kita ubah secepat swipe layar. Tapi kita bisa mulai dari meja makan. Dari obrolan sebelum tidur. Dari pilihan kecil: mematikan TV sebentar, meletakkan HP saat anak bercerita, menyisakan waktu utk sekadar berjalan kaki bersama di kompleks rumah.
Karena hakikat dakwah bukan hanya di mimbar atau media sosial. Ia dimulai dari lentera kecil di dalam rumah, yg menyala lewat perhatian, waktu, dan cinta yg nyata. Lentera yg tak bisa dipadamkan oleh apapun, bahkan oleh gaduhnya dunia digital yg tak pernah tidur.
Asepistemik
Di Antara Senyap yang Menumbuhkan
Penulis : Dr. Asep Mulyana, MA (Analis Pelayanan Publik-Kantor Kemenag Kota Banjar)