Purwakarta – Rabu, 29 Oktober 2024, Majlis Reboan kembali digelar di Bale Panca Niti dengan mengusung tema “Islam Ngarasa, Ngarasa Islam.” Acara ini berlangsung khidmat dan hangat, dihadiri oleh masyarakat yang antusias ingin memperdalam pemahaman tentang Islam sekaligus mempererat silaturahmi.
Dr. H. Purwanto, M.Pd., selaku sohibul bait dalam sambutannya mengucapkan terima kasih atas kehadiran para jamaah. “Kegiatan ini adalah kesempatan bagi kita untuk mendapatkan nutrisi jasmani dan ruhani. Mohon maaf jika dalam penerimaan kami ada kekurangan,” ujarnya. Ia juga menegaskan bahwa majlis ini menjadi wasilah untuk menjaga tali silaturahmi dan memperkuat ukhuwah Islamiyah.
Acara dilanjutkan dengan ceramah pertama oleh Ust. Nata Sutisna, Lc, yang mengupas tujuan diturunkannya agama Islam. “Islam hadir untuk menata bumi, menjaga alam semesta, dan menjaga tatanan masyarakat,” jelasnya. Ia juga menegaskan bahwa manusia membutuhkan kebahagiaan yang seimbang antara dunia dan akhirat. Dalam Islam, umat dibagi menjadi dua: ummatul dakwah (yang menerima seruan) dan ummatul ijabah (yang menjalankan ajaran Islam). “Kita perlu memadukan ajaran agama dengan kehidupan kemanusiaan agar tercipta harmoni,” tutupnya.
Penceramah kedua, Dr. Tata Sukayat, M.Ag, menyoroti sikap para ulama terdahulu yang mendahulukan ajaran Islam dengan rendah hati tanpa menonjolkan identitas pribadi. Ia juga membahas tiga paradigma Islam:
Pertama Islam Paradigma Sekuleristik; Paradigma sekuleristik memisahkan agama dari kehidupan sosial, politik, dan ekonomi. Dalam pandangan ini, agama dianggap sebagai urusan pribadi dan hanya berfungsi dalam ranah spiritual atau ibadah, tanpa mempengaruhi kebijakan publik atau norma sosial. Contoh: Di negara yang menerapkan sekularisme, hukum dan kebijakan publik tidak didasarkan pada ajaran agama, dan agama dipandang sebagai urusan individu.
Kedua Islam Paradigma Internalistik; Paradigma internalistik memandang bahwa ajaran Islam cukup diterapkan dalam lingkup pribadi dan spiritual, tanpa perlu mengaitkannya dengan perubahan sosial secara eksplisit. Fokus paradigma ini lebih pada peningkatan kualitas ibadah, akhlak individu, dan hubungan personal dengan Allah. Ciri-cirinya adalah perhatian utama pada kesalehan pribadi (seperti ibadah dan akhlak), kurang menekankan aspek sosial atau kebijakan publik dari ajaran Islam, cenderung melihat agama sebagai sarana untuk pengembangan diri.
Ketiga Islam Paradigma Simbiotik, Paradigma simbiotik memandang bahwa agama dan kehidupan sosial memiliki hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi. Islam, dalam paradigma ini, berperan baik dalam kehidupan spiritual maupun sosial. Ajaran agama dianggap relevan dalam membentuk nilai, norma, dan kebijakan publik. Contoh: Dalam paradigma ini, prinsip-prinsip Islam tidak hanya dijalankan dalam ibadah, tetapi juga memandu etika bisnis, pendidikan, hingga kebijakan pemerintahan.
Paradigma simbiotik mengakui peran Islam dalam semua aspek kehidupan, tetapi juga menerima kontribusi dari pengetahuan dan nilai-nilai modern yang tidak bertentangan dengan Islam.
Dr. Tata menegaskan bahwa Islam kafah berarti tidak hanya mengikuti hukum fiqh, tetapi juga mendalami esensinya melalui tasawuf. “Islam yang utuh adalah Islam yang tidak hanya dilaksanakan secara lahiriah tetapi juga menyentuh aspek batin,” ungkapnya.
Majlis Reboan kali ini memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana mempraktikkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari dengan konteks kemanusiaan dan adat lokal. Dengan tema “Islam Ngarasa, Ngarasa Islam,” diharapkan kita semakin mampu merasakan dan mempraktikkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan nyata.
Kontributor: Eep