Wanayasa, Purwakarta — Sebagai bagian dari upaya Rumah Tumbuh dalam membangun ruang hidup yang berkelanjutan, kami terus belajar untuk menghadirkan karya yang tidak hanya fungsional, tetapi juga selaras dengan alam. Salah satu proses pembelajaran itu hadir melalui proyek landscape di kawasan Wanayasa, Kabupaten Purwakarta — sebuah kerja bersama yang mengajarkan kesadaran ekologis dan makna harmoni.
Di tengah gempuran pembangunan modern yang serba cepat dan instan, ada sekelompok anak muda yang memilih cara berbeda dalam berkarya. Mereka tidak datang dengan mesin berat atau bahan pabrikan, melainkan dengan kesadaran penuh untuk bekerja bersama alam.

Mereka adalah Risal Aptiyansah, anak muda yang pernah belajar di Bumi Langit, dan Farhan Fadhilah, atau akrab disapa Aang, seorang mahasiswa dari Yogyakarta. Saat ini, keduanya sedang membantu Rizal Asad dalam menyelesaikan proyek landscape di Rumah Tumbuh, kediaman milik Bapak Purwanto di Wanayasa, Kabupaten Purwakarta.
Langkah Kecil, Makna Besar
Proyek yang sedang mereka kerjakan mungkin terlihat sederhana: membuat jalur (pathway) dari batu alami yang diambil langsung dari sungai sekitar. Namun di balik pekerjaan yang tampak biasa itu, tersimpan filosofi yang dalam.
“Alam sudah menyediakan segalanya untuk manusia. Tugas kita adalah menjadi ko-kreator—menghargai apa yang diberikan alam dengan penuh kesadaran dan hormat,” ungkap Risal.
Pilihan mereka untuk menggunakan batu sungai lokal bukan tanpa alasan. Selain menekan jejak karbon agar tetap minimal, penggunaan bahan alami ini juga membantu jalur menyatu secara visual dan ekologis dengan lanskap sekitar.

Bersahaja, Fungsional, dan Ramah Lingkungan
Batu-batu itu dipasang mengikuti pola alami, tidak terlalu disempurnakan atau dipaksakan bentuknya. Dengan begitu, jalur yang terbentuk terasa lebih organik—alami, bersahaja, dan tetap fungsional.
Selain memperindah area landscape, jalur batu alami juga memiliki manfaat praktis: drainase air lebih baik, material tidak menghasilkan polutan tambahan, serta tampilan yang memperkuat nuansa alami lingkungan sekitar.
“Dalam setiap batu yang kami pasang, ada pesan sederhana: bahwa kita bisa membangun tanpa merusak. Alam bukan objek untuk dieksploitasi, tapi mitra untuk diajak bekerja sama,” kata Aang.

Belajar dari Alam, Hidup Selaras
Filosofi mereka berpijak pada nilai kearifan lokal: “Alam takambang jadi guru.” Alam menjadi sumber ilmu, inspirasi, dan pedoman hidup.
Bagi mereka, proyek ini bukan sekadar pekerjaan fisik, tetapi juga latihan kesadaran. Kesadaran bahwa setiap langkah manusia seharusnya memberi manfaat, bukan meninggalkan beban.
Di tengah tren pembangunan yang serba instan, pilihan mereka untuk melangkah perlahan adalah bentuk perlawanan halus—sebuah upaya mengembalikan hubungan manusia dan alam ke titik keseimbangan.
“Tuhan menciptakan alam tanpa kesia-siaan,” ujar Risal menutup pembicaraan. “Maka setiap batu yang kami letakkan adalah tanda syukur bahwa kami berjalan bersama alam, bukan melawannya.”

Makna di Setiap Jejak
Di bawah langit teduh Wanayasa, jalur batu itu kini menjadi simbol sederhana tentang cara hidup yang lebih sadar dan menghargai bumi. Sebuah pengingat bahwa dari hal kecil—dari satu batu, satu langkah—kita bisa membangun budaya baru yang lebih selaras dengan alam.

