Merdeka itu Bebas dari Hawa Nafsu

Oleh Asep Mulyana
Analis Pelayanan Publik
Kantor Kemenag Kota Banjar

Nabi Muhammad SAW pernah mengingatkan para sahabatnya setelah kembali dari medan perang, bhw jihad terbesar bukan melawan musuh di luar, melainkan melawan hawa nafsu diri sendiri. Pesan ini menjadi pintu masuk bagi refleksi kita di peringatan 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia yg jatuh pada hari ini, bhw kemerdekaan sejati tdk hanya soal membebaskan tanah air dari penjajah, tetapi juga membebaskan hati dan pikiran dari belenggu nafsu yg menjerat.

Pada hari ini, bayangan generasi ’45 tdk hanya mengingatkan kita pada senjata dan diplomasi. Mereka mengajarkan sebuah etos: menaklukkan rintangan luar demi cita² bersama. Sekarang medan pertempuran berubah, lebih halus, lebih privat, terdiri dari dorongan² batin yg tak terlihat namun punya daya rusak yg luar biasa. Jika dulu yg dipertaruhkan adalah tanah dan bangsa, kini yg dipertaruhkan adalah jiwa kolektif: kemampuan kita utk menahan diri dari hawa nafsu yg membabi buta.

Hawa nafsu bukan cuma keinginan sesaat. Ia membentang dlm banyak rupa: dari keinginan utk nyaman terus-menerus, mendulang kenikmatan tanpa batas, sampai mengutamakan diri, keluarga, dan kelompok sempit yg mengorbankan kepentingan publik. Di tingkat individu, seperti saya, nafsu muncul sbg kecanduan kecil: rokok, gula, dan medsos. Di tingkat sistem, ia berubah menjadi keserakahan yg merampas kekayaan bangsa utk lingkaran sempit: nepotisme, korupsi, penghisapan sumber daya, dan seterusnya. Keduanya bersaudara: akar nafsu yg tak terkendali menumbuhkan praktik² yg menggerogoti tubuh diri dan bangsa.

Saya melihatnya dlm diri sendiri: saat keinginan instan mengalahkan tujuan panjang, saat alasan dan pembenaran menjadi tameng utk kebiasaan yg merusak. Pengakuan ini bukan cuma rasa bersalah. Ia titik tolak perubahan. Mengakui hawa nafsu diri berarti membuka mata bhw kemerdekaan bukan cuma soal ruang politik, melainkan penguasaan batin yg mengajar diri utk memilih yg baik walau berat, menunda kepuasan demi kebaikan yg lebih besar.

Jika kita gagal memimpin diri sendiri, kita tak cukup layak memimpin orang lain. Kepemimpinan sejati bermula dari penguasaan diri: menolak gratifikasi, menutup pintu bagi praktik koruptif, menata hati agar kepentingan publik bukan korban dari ambisi pribadi. Ketika pejabat memberi jalan pada hawa nafsu, anggaran berubah jadi komoditas. Ketika warga memilih konsumsi tanpa batas, masa depan kolektif terkikis. Hawa nafsu yg tidak dijinakkan mereduksi kemerdekaan menjadi hak kosong yg hanya dinyanyikan pada upacara, bukan diwujudkan dlm hidup sehari².

Perlawanan thd hawa nafsu memerlukan dua hal yg sederhana namun sulit: kejujuran dan kebiasaan. Kejujuran utk menatap kelemahan sendiri dan kebiasaan utk menukar hasrat sesaat dg disiplin kecil yg konsisten. Menolak rokok, mengetatkan konsumsi gula, dan membatasi scroll medsos, bagi saya, adalah sebagiaj latihan moral yg, jika dilakukan secaea kolektif, mengubah norma sosial. Di ranah publik, kejujuran berarti transparansi, dan keadilan berarti penegakan aturan yg tak pandang bulu.

Ada pula dimensi lain yg tak kalah penting: melawan hawa nafsu bukan berarti menghakimi setiap kegagalan, melainkan memberi ruang utk bangkit. Pada diri sendiri, kelemahan harus dipandang sbg panggilan utk belajar, bukan sbg cap akhir. Pada sistem, reformasi membutuhkan kesabaran dan keberanian moral dg mendukung pemimpin berintegritas, menuntut akuntabilitas, serta menumbuhkan budaya pelayanan publik yg menjunjung martabat rakyat.

Merdeka dari hawa nafsu adalah proses kolektif yg memerlukan kerja batin dan tindakan kolektif. Ia menuntut kita menata ulang prioritas: dari mengejar keuntungan pribadi ke mengelola kebaikan bersama; dari pemuasan seketika ke kestabilan berkelanjutan. Setiap kemenangan kecil atas nafsu adalah kontribusi pada tatanan yg lebih adil, sebuah kebebasan yg berlapis: pribadi, institusional, dan kebangsaan.

Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, jihad terbesar adalah melawan hawa nafsu diri sendiri. Maka, pada momen 80 tahun kemerdekaan ini, kita diingatkan bhw perjuangan sejati tdk berhenti pada kemenangan melawan penjajah, tetapi berlanjut dlm perang batin sehari²: menundukkan ego, mengendalikan nafsu, dan menolak keserakahan. Jika generasi ’45 berkorban utk membebaskan bangsa, maka generasi kita ditantang utk membebaskan diri. Sebab, hanya dg menaklukkan hawa nafsu, secara kolektif, kemerdekaan republik ini dpt kita rawat selamanya.

○○○

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top